UJIAN NASIONAL (UN) MERUSAK DIRIKU
Oleh
Gustap Elias
Mahasiswa FKIP BK UKSW Salatiga
Dalam
seluruh proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar merupakan kegiatan yang
paling pokok. Ini berarti bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak
bergantung pada proses belajar yang dialami siswa sebagai anak didik. Suatu
respon yang luar biasa ditunjukan oleh siswa dalam menanggapi pernyataan yang
disampaikan oleh para guru maupun orang tua untuk disiplin belajar. Sehingga
timbullah berbagai upaya untuk meningkatkan kedisiplinan belajar dengan harapan
akan menjadi siswa yang sukses. Namun sangat disayangkan semua upaya dan kerja
keras yang sudah dilakukan oleh siswa dihancurkan dengan adanya Ujian Nasional
(UN). Hal ini dikarenakan banyak siswa yang walaupun pintar dan bahkan menjadi
juara kelaspun bisa tidak lulus UN.
UN
memang merupakan kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah untuk mengukur
kompetensi lulusan. UN juga diselenggarakan untuk meningkatkan kualitas Sumber
Daya Manusia (SDM) yang menjadi modal pembangunan nasional dan menjadi
comparative advantage dalam dunia yang semakin kompetitif.
Harapan
tersebut dalam praktiknya memunculkan polemik di masyarakat, pihak yang tidak
setuju mengajukan berbagai argumentasi yang menyatakan bahwa UN tidak layak dilanjutkan
karena memiliki berbagai kelemahan. Kondisi geografis Indonesia yang terdiri
atas banyak pulau memberikan konsekuensi kepada keragaman standar mutu
pendidikan setiap daerah. Dengan demikian, UN menjadi ukuran yang tidak valid
untuk diterapkan.
Pihak
yang mendukung menjelaskan ujian memiliki nilai positif berupa kualitas
pendidikan yang semakin membaik. Siswa yang mengikuti pendidikan akan
menghadapi evaluasi dari hasil belajarnya. Hasil dari proses belajar tersebut
tercermin dalam prestasi belajar yang dapat diukur dari pencapaian standar
kompetensi lulusan, walaupun kenyataannya, standar kelulusan siswa hanya
didasarkan pada keberhasilan siswa mengikuti ujian yang baru mengukur aspek
kompetensi kelulusan yaitu aspek kognitif. Kualitas pendidikan seharusnya
didasarkan pada evaluasi yang mencakup peserta didik, lembaga, dan program
pendidikan. Namun ternyata ujian lebih berfokus melakukan evaluasi terhadap
siswa. UN seharusnya merupakan upaya standardisasi yang dilakukan pemerintah
untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Berbagai
kondisi tersebut menimbulkan pro-kontra terhadap UN, dimana kelompok kontra
menyatakan bahwa pemberian nilai dalam ujian merupakan bentuk dehumanisasi
pendidikan karena menimbulkan ketidakpercayaan di antara guru dan siswa. Ujian
menjadi cara untuk membanding bandingkan kemampuan di antara siswa dan telah
menyebabkan kecemasan dan menurunkan harga diri bagi mereka yang bernilai
buruk. Mereka yang mendukung evaluasi sering mengutuk praktik-praktik pendidikan
yang menekankan pengujian berbagai keterampilan dasar yang telah keluar dari
konteks dan tujuan utama pendidikan sehingga mengakibatkan munculnya kompetensi
yang berlebihan.
Penerapan
UN telah menyebabkan munculnya beberapa masalah pendidikan pada siswa. Siswa
khawatir apabila tidak lulus ujian, karena tidak lulus merupakan sebuah bencana
karena berkaitan dengan kehidupan masa depan. Penilaian siswa terhadap suatu
keadaan stres menghadapi ujian sangat dipengaruhi oleh persepsi individu atau
penilaian kognitif (cognitive appraisal)
pada situasi atau stimulus sebagai potensi yang berbahaya atau merugikan.
Penilaian terhadap keadaan ataupun rangsang yang dianggap mengancam (dalam
konteks ini ujian dipengaruhi sikap, pikiran-pikiran, kemampuan dan pengalaman
sebagai hasil belajar di masa lalu dan ditentukan juga oleh kecenderungan
pribadi seseorang yaitu kecemasan dasarnya (anxiety
trait)
Pada
saat siswa dihadapkan pada situasi yang dirasakan mengancam, dalam hal ini
cemas terhadap kegagalan saat menghadapi ujian, biasanya akan menggugah upaya-upaya
untuk mengatasinya, mengurangi atau menghilangkan perasaan terancam atau kecemasan
sesaat, karena pada dasarnya setiap individu mengharapkan berada pada keadaan homeostatis.
Setiap siswa yang kecemasan secara konsisten memiliki efek negatif terhadap
prestasi akademik siswa.
Peningkatan Mutu Pendidikan
Pendidikan
diharapkan dapat menghasilkan lulusan yang berkualitas, memiliki kemampuan
dalam keilmuan dan keimanan. Harapan tersebut sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional pada Bab I pasal 3 menyatakan bahwa :
Pendidikan
Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab”. (Depdiknas, 2003).
Jika
memang pendidikan di Indinesia diharapkan dapat menghasilkan lulusan yang
berkualitas serta memiliki kemampuan dalam keilmuan dan keimanan, seperti yang
tertuang dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, maka pemerintah seharusnya lebih memperhatikan tenaga pengajar yang
berkualitas serta memiliki kemampuan dalam keilmuan dan keimanan. Pada
kenyataannya para siswa dituntut untuk menjadi anak yang cerdas dan luar biasa,
namun para guru tidak dituntut sedemikian rupa. Dalam konteks ini, bisa
dikatakan merupakan suatu kegagalan yang sedang diciptakan oleh pemerintah. Hal
ini dikerenakan dalam UN tidak ada ujian tentang karakteristik peserta didik,
sehingga tolak ukur yang digunakan oleh pemerintah untuk mengukur beberhasilan siswa
hanya pada aspek koknitif dan psikomotorik. Dimana kognitif adalah suatu
kemampuan siswa untuk memahami pelajaran di kelas dan psikomotor adalah suatu
ketelitian siswa dalam melingkari lembaran kerja komputer. Dalam kedua aspek
ini, yang lebih diperhatikan adalah pada aspek psikomotor sedang aspek kognitif
seakan-akan tidak dihiraukan. Apalagi pada aspek afektif yang menyangkut
perasaan siswa. Kalau begitu dimanakah dan untuk siapakah tujuan yang
dirumuskan oleh pemerinta untuk meningkatkan kehidupan bangsa? Jangan-jangan UN
hanya digunakan untuk suatu proyek dimana ada oknum-oknum tertentu yang ingin
mencari suatu keuntungan.
Keberhasilan siswa dalam pendidikannya
juga dipengaruhi oleh motivasi berprestasi yang dimiliki oleh siswa. Motivasi
berprestasi sebagai daya dorong yang memungkinkan seseorang berhasil mencapai
apa yang diidamkan. Oleh sebab itu pemerinta diharapkan janganlah mematikan
motivasi peserta didik untuk menjadi orang yang berhasil.
Haruskah Ujian Nasional (UN)
dihilangkan?
Bukanlah suatu perkara yang mudah bagi
pemerintah untuk menghilangkan UN,
karena dengan adanya UN, maka ada juga hasil kelulusan yang bertaraf nasional.
Jika UN dihilangkan maka akan muncul suatu pertanyaan “apakah ada sekolah yang
mampuh meluluskan siswanya dengan kualitas yang baik?” jangan-jangan dengan
dihilankannya UN, Siswa akan merasa santai dan tidak perduli lagi dengan
belajar atau bisa jadi guru dengan seenaknya meluluskan siswanya dengan
alasan-alasan yang tidak jelas, seperti rasa kasihan, karena anaknya, karena
saudara, atau karena ketua kelas dan sebagainya. Jika terjadi hal demikian,
akan muncul lagi pertanyaan apakah ada perguruan tinggi yang mau terima siswa
yang lulusannya tidak bertaraf nasional?. Jika UN harus dihilangkan, maka
sekolah seharusnya mempunyai standar kelulusan yang baik dan berkualitas. Untuk
menerapkan peraturan tersebut, maka para pengajar juga diharuskan merupakan
para pengajar yang berkualitas dan berintegritas tinggi.
Dalam kasus ini pemerintah diwajibkan
mengangkat tenaga pengajar yang berkualitas. Karena pengajar yang berkualitas
dengan stantar kelulusan yang baik maka akan menghasilkan perserta didik yang
baik dan berkualitas. Jika pemerintah belum mampuh menghasilkan tenaga pengajar
yang berkualitas, untuk apa pemerintah mengharapkan peserta didik yang
berkualitas? Untuk apa diadakannya UN, kalau belum ada tenanga pengajar yang
kualitasnya bertaraf nasional?